AL-MADD WA AL-QASHR:

PENGARUHNYA TERHADAP MAKNA AYAT AL-QUR’ÂN

Muhammad Rizqi[1]

Abstract

This article discusses about al-madd wa al-qashr and it’s influence on the meanings of al-Quran verses. Mad and Qashar is regarded as an important topic in the study of tajwid because it may change the meaning and the content of al-Quran verses when there is a mistake in applying it. Therefore, this topic is also discussed in the study of ulum al-Quran. Several forms of mistake in applying Mad and Qashar when someones reads al-Quran, can be described as follows; the mistake defecting the content of al-Quran, mistake not defecting the content of al-Quran but changing the meaning, mad and qashar stimulating polemic among ulamas, and mad and qashar which do not ruin the meaning but breaks tadjwid rules.

Key Words: Mad, qashar, al-Qur’ân.

 

Pendahuluan

Al-Qur’ân al-Karîm merupakan kitab suci yang mengandung berbagai macam petunjuk dan ilmu pengetahuan serta berisi solusi tentang persoalan-persoalan kehidupan umat manusia. Al-Qur’ân menjadi panduan bagi manusia selaku khalifah di muka bumi untuk selalu memperbaiki kualitas kehidupan serta keimanannya.

Al-Qur’ân adalah kitab yang telah dijamin keotentikannya oleh Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Surat  al-Hijr (15) ayat 9:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِناَّ لَهُ لَحَافِظُوْنَ

Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur`ân, dan pasti Kami pula yang memeliharanya”.

 

Jadi, dapat dipahami bahwa al-Qur’ân senantiasa dijaga dan dipelihara oleh Allah Swt., sehingga tidak ada seorang pun yang sanggup mengubah dan merusak isi dan kandungan al-Qur’ân tersebut.

Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat `Abdullâh Darrâz, ia mengatakan bahwa jika al-Qur’ân dibaca maka maknanya akan jelas, tetapi jika dibaca sekali lagi, akan ditemukan makna-makna lain yang berbeda dengan makna sebelumnya. Al-Qur’ân dapat dikatakan sebagai intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut lainnya.[2] Begitu pula petunjuk dari suatu ayat akan berbeda antara seseorang dengan yang lainnya.

Begitu pentingnya membaca, mempelajari dan memahami al-Qur’ân, hingga orang yang membaca al-Qur’ân itu mendapat prediket istimewa dan apresiasi khusus dari Rasulullah Saw., seperti terungkap dalam sabdanya:

 

عن أبي عبد الرّحمن السّلمي عن عثمان رضي الله عنه عن النّبي صلّى الله عليه و سلّم قال:  خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ [3](رواه البخاري )

 

Artinya:Abî `Abd al-Rahmân al-Salamiy meriwayatkan dari `Utsmân Ra. Nabi Saw. Bersabda:“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur’ân dan mengajarkannya (kepada orang lain)“.

 

Dari hadis di atas dipahami bahwa mempelajari al-Qur’ân merupakan suatu ibadah dan amalan yang mulia sehingga Nabi Muhammad Saw. menilai bahwa orang yang paling baik itu adalah orang yang mempelajari al-Qur’ân dan mengajarkannya kepada orang lain.

Untuk dapat memahami al-Qur’ân dengan baik, setiap muslim diseru untuk membaca al-Qur’ân dengan khusyu` dan tawâdhu`, tidak dengan tergesa-gesa karena apapun yang dikerjakan dengan tergesa-gesa, hasil yang akan diperoleh tidak akan sempurna. Anjuran ini terdapat dalam firman Allah Swt. surat al-Muzzammil (73) ayat 4:

وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلاً

Artinya: “… Dan bacalah al-Qur’ân itu dengan tartîl (perlahan-lahan).”[4]

 

Ahmad Musthafa al-Marâghi menafsirkan ayat di atas:

اقرأه على تمهل , فإنه أعون على فهمه و تدبره[5]

Artinya:“Bacalah al-Qur’ân dengan perlahan, karena yang demikian itu lebih membantu untuk memahami dan merenungkannya.”

Menurut `Ali bin Abî Thâlib, yang dimaksud dengan “Tartîlâ” dalam ayat di atas adalah “Tajwid”. Salah seorang sahabat bertanya kepadanya; “Apakah tajwid itu?” Maka `Ali menjawab:

هُوَ تَحْسِيْنُ الْحُرُوْفِ وَ مَعْرِفَةُ الوُقُوْفِ

Artinya:“Tajwid adalah membaguskan bunyi bacaan huruf-huruf dan mengetahui tempat-tempat berhenti.[6]

 

Al-Qurthubîdalam bukunya berpendapat;

لا تعجل بقراءة القرأن بل اقرءه فى مهل و بيان مع تدبر المعانى[7]

Artinya: “Janganlah kamu membaca al-Qur’ân dengan tergesa-gesa, tetapi bacalah dengan perlahan-lahan sambil memahami dan merenungkan makna-makna yang terkandung di dalamnya.”

 

Jadi, tartîl maksudnya adalah membaca al-Qur’ân dengan perlahan dan disertai dengan menerapkan kaidah-kaidah ilmu tajwid, sambil memahami makna dan isi kandungan yang terdapat di dalamnya.Salah satu materi penting di dalamnya adalah al-Madd wa al-Qashr (selanjutnya ditulis mad dan qashar), yaitu memanjangkan dan memendekkan bacaan al-Qur’ân, di mana kajian tentang mad  dan qashar ini juga mendapat perhatian dalam `Ulûm al-Qur’ân, sehingga Mannâ` Khalîl al-Qaththân menulis suatu judul dalam kitab Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân. Inilah yang menjadi fokusdan perhatian penulis pada tulisan ini.

Defenisi mad secara etimologi menurut Muhammad al-Mahmûd dalam kitab Hidâyat al-Mustafîd fî Ahkâm al-Tajwîd adalah[8]المَدُّ وَ الزِّيَادَةُ   (memanjangkan dan menambah). Sedangkan menurut istilah adalah:

إطالة الصّوت بحرف من حرف المدّ[9]

 

Artinya: “Memanjangkan bunyi suara dengan salah satu huruf-huruf mad.”

 

Permasalahan mad dan qashar timbul karena kekeliruan dalam bacaan al-Qur’ân yang di-mad-kan atau di-qashar pada kata-kata tertentu. Seperti bacaan mad dibaca qashar atau sebaliknya. Kesalahan seperti ini bisa berpengaruh terhadap makna ayat dan bisa juga tidak berpengaruh. Selain itu, permasalahan terjadi karena kesalahan-kesalahan sepele yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Contohnya, sebagian khatib di akhir khutbah membaca و لذكر الله أكبر , karena kurang teliti biasanya dibaca و لا ذكر الله أكبر (Lâm di-mad-kan). Akibatnya, kesalahan seperti ini menjadi tradisi dalam masyarakat, padahal artinya bertentangan dengan yang semestinya.

 

Bentuk-Bentuk Pengaruh Mad dan Qashar dalam Membaca al-Qur’ân

Pada pembahasan ini penulis akan mengemukakan bentuk-bentuk pengaruh akibat kesalahan mad dan qashar dalam membaca ayat-ayat al-Qur’ân. Dari hasil penelitian penulis dalam hal mad dan qashar pada ayat al-Qur’ân, setidaknya terdapat sekitar empat macam bentuk pengaruh mad dan qashar. Ini disebabkan kesalahan penerapan mad dan qashar dalam membaca al-Qur’ân.Pengaruh-pengaruh tersebut adalah sebagai berikut:

 

  1. 1.    Mad dan Qashar yang Berpengaruh terhadap Makna al-Qur’ân.

Yang dimaksud dalam subjudul ini adalah pengaruh kerusakan makna ayat yang timbul karena kesalahan mad dan qashar pada pembacaan ayatdemi ayat al- Qur’ân.Di antara contohnya adalah sebagai berikut:

  1. Q. S. Al-Baqarah: 2

ذَلِكَ الْكِتبُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ

Artinya: Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”

 

Pada ayat di atas, yang menjadi inti permasalahan adalah pada kata yang digaris bawahi, yaitulam alif ( لا ). Kata لا pada ayat لا ريب فيه artinya “tidak” (Tidak ada keraguan yang terdapat dalam al-Qur`ân).Kesalahan pemakaian mad dan qashar pada lam alif tersebut mengakibatkan pengaruh kerusakan yang sangat fatal pada makna dan pemahaman ayat itu sendiri. Di mana, لا yang dilamakan membacanya (dibaca panjang) merupakan لا النافية للجنس, yaitu huruf لا yang menafikan semua bentuk keraguan dalam al-Qur’ân. Namun, jikaلاtersebut dibaca pendek (diqashar), menjadi لريب فيه , maka fungsi لاberubah menjadi “Lâm Ta’kîd”.Ta’kîd dalam ilmu Qawâ`id berarti penguat atau penegasan. Salah satu ‘adat atau huruf ta’kîd itu adalah “lâm”. Dalam hal ini, “lâm” berarti “sungguh”. Akibatnya, arti ayat (jika huruf “lâm” diqashar atau dibaca pendek) akan bertolak belakang dari yang sebenarnya, menjadi “Sungguh terdapat keraguan dalam al-Qur`ân”.

 

  1. Q. S. Al-Kahfi: 61

فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوْتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيْلَهُ فِيْ الْبَحْرِ سَرَبًا

Artinya: “Maka tatkala mereka berdua (Nabi Musa As. dan pembantunya) sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.”

 

Ayat di atas menceritakan tentang Nabi Musa As. ketika berjalan bersama pembantunya. Ayat ini merupakan sambungan dari ayat sebelumnya yang artinya; “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”.

 

Kata balaghâ pada ayat di atas, dalam bahasa Arab dikenal dengan kata mutsannâ[10], di mana, arti ayat tersebut adalah “Maka tatkala mereka berdua (Nabi Musa As. dan pembantunya) sampai ke pertemuan dua buah laut itu…..”. Jadi yang dimaksud mutsanna di sini adalah ‘Nabi Musa As. berdua dengan pembantunya’. Mad yang terdapat pada kata ini terletak pada huruf ghain ( غ ). Jika gha pada kata balaghâ di-qashar-kan bacaannya, maka kata itu berubah menjadi balagha (gha dibaca pendek). Dengan demikian, secara tidak langsung dhamîr padakata itu pun berubah dari bentuk mutsannâ menjadi mufrad. Maka fâ`ildari kata balagha juga berubah dari dua orang menjadi satu orang saja. Bisa jadi Nabi Musa As. sendiri yang melakukan perjalanan dan sampai pada pertemuan dua laut itu, atau hanya pembantunya saja.

 

Jadi pengaruh mad dan qashar yang ditimbulkan pada contoh ayat di atas adalah merubah dhamîr pada kata kerja (fi`l) dari mutsannâ  menjadi ism al-mufrad.

 

  1. Q. S. Al-Dhuha (93): 5

وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى

Artinya: “Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan kerunia-Nya kepadamu, lalu kamu menjadi puas.”

 

Huruf Lâm yang digaris bawahi pada ayat di atas bacaanya di-qashar. Lâm tersebut adalah Lâm Ta’kîd. Maka arti ayat di atas adalah “Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.” Namun, kalau bacaan Lâm di-mad-kan maka Lâm Ta’kîd akan berubah menjadi Lâ Nâfiyyat li al-Jinsi, maka dengan demikian makna ayat akan betentangan dengan yang dikehendaki Allah pada ayat tersebut.

 

Mad dan Qashar yang Tidak Berpengaruh pada Makna al-Qur’ân.

Maksudnya, kesalahan dalam pemakaian mad dan qashar pada contoh-contoh berikut walaupun merubah arti, namun tidak merusak makna dan maksud dari ayat tersebut. Hanya saja menukararti kata dengan kata yang semakna atau sinonim dari kata tersebut. Selain itu, mad yang tidak berpengaruh terhadap makna ayat al-Qur’ân berupa kelebihan atau kekurangan kadar bacaan mad pada mad Jâiz dari ketentuannya. Seperti kurang 1 sampai 2 harkat atau berlebih.

Di antara contoh-contohnya adalah sebagai berikut:

  1. Q. S. Al-Fatihah : 4

ملِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

Artinya: Yang menguasai hari pembalasan”.

 

Huruf pertama yang terdapat pada ayat di atas, sebagaimana yang terlihat dalam al-Qur’ân merupakan huruf mîm yang berharkat fathah dan di-madd-kan (dibaca panjang). Kata mâlik (huruf mîm dibaca panjang) mempunyai arti ‘penguasa atau yang menguasai’. Sedangkan jika huruf mîm di-qashar-kan, maka artinya adalah ‘raja’. Kata ‘raja’ dan ‘penguasa atau yang menguasai atau yang memiliki’ merupakan kata yang mempunyai pengertian hampir sama. Yang membedakan antara keduanya adalah bentuk katanya. Kata مَلِك dalam bahasa Arab merupakan shighatism al-mufrad yang berarti ‘raja’. Sedangkan kata ملِك (mîm dilamakan membacanya) di dalam bahasa Arab merupakan shighat ism al-fâ`il, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti ‘yang menguasai’ atau ‘yang memiliki’.

 

  1. Q. S. Ali `Imran: 26

قُلِ اللَّهُمَّ ملِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Artinya: “Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

 

Fokus pembahasan pada ayat di atas adalah pada kata mâlik al-mulk. Jika mîm pada kata mâlik dibaca panjang sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur`ân, maka shîghat-nya adalah ism al-fâ`il yang artinya “yang memiliki/mempunyai kerajaan”. Namun, jika mîm pada kata mâlik tersebut diqasharkan (dibaca; malik), maka shigaht-nya berubah menjadi ism al-mufrad, yang berarti “raja”. Maka malik al-mulki berarti “raja dari segala kerajaan”.

Jadi, kesalahan dalam pemakaian mad dan qashar pada contoh ayat di atas hanya merubah arti kata mâlik dari “yang memiliki” menjadi “raja”. Kalau ditinjau dari aspek kebahasaan, maka perubahan arti tersebut tidak merusak makna secara fatal dan tidak merubah sifat Allah kepada sifat yang bertentangan dari yang ditunjukkan ayat tersebut.

 

Mad dan Qashar yang Berpengaruh terhadap Pemahaman Para Ulama al-Qur’ân

 

Pada subjudul ini, yang dimaksudkan adalah bentuk pengaruh yang ditimbulkan oleh kesalahan dalam pemakaian mad dan qashar pada pembacaan ayat suci al-Qur’ân pada perbedaan pemahaman para ulama dalam memahaminya, serta menimbulkan alasan yang berbeda dari pendapat-pendapat para ulama tersebut.

 

Di antara contoh-contoh ayatnya adalah sebagai berikut:

 

  1. Q. S. Al-Baqarah: 81

بَلَى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيْئَتُهُ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ

Artinya: (Bukan demikian), yang benar, barang siapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

 

Fokus penelitian pada ayat di atas adalah kata khathî’ah. Bagian yang berpengaruh terhadap perbedaan pemahaman para ulama adalah pemakaian mad atau qashar pada huruf hamzah yang terdapat pada kata khathî’ahtersebut. Hamzah dalam kata khathî’ah jika dibaca dengan mad (dilamakan/dipanjangkan membacanya), dalam bahasa Arab merupakan bentuk jama` (banyak/plural). Sedangkan jika hamzah dibaca dengan qashar (dipendekkan membacanya), maka kata itu berubah menjadi bentuk mufrad (kata tunggal).

 

Sobhan Lubis menjelaskan perihal kata khathî’ah yang terdapat pada ayat di atas dengan dua alasan. Pertama, bahwa makna kata khathî’ah di sini adalah al-syirk. Kedua, bahwa makna kata khathî’ah di-`athaf-kan kepada kata al-sayyi’ah, maksudnya adalah khathî’ah berarti al-sayyi’ah dan sebaliknya al-sayyi’ah berarti khathî’ah (kejahatan dan kesalahan).[11]

 

Ibnu Khalawah menjelaskan bahwa kata-kata al-sayyi’ah dan khathî’ah sekalipun masing-masingnya diungkapkan dengan bentuk mufrad (tunggal), namun artinyaadalah untuk jama` (menunjukkan banyak).[12]

 

  1. Q. S. Al-Mâ’idah: 6

 ….. وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيدًا طَيِّبًا…..

Artinya: “… dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih) ….”

 

Fokus penelitian pada ayat di atas adalah potongan ayat لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ. Di mana, kata لاَمَسْتُمُ  menuai banyak pendapat yang berbeda dalam memahami maksud kata لاَمَسْتُمُ itu sendiri. Sebagian ulama ada yang membacanya dengan لاَمَسْتُمُ (dengan memanjangkan bacaan huruf  لا  dan sebagian lagi membacanya dengan لمسْتُمُ (memendekkan bacaan huruf ل). Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena perbedan qirâ’at yang mereka pakai, keduanya mempuyai riwayat yang sama-sama mutawâtir

Di antara ulama yang memanjangkan bacaan lâm pada ayat لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ adalah Ibn Katsîr, Nâfi`, `Âshim, Abû `Amr dan Ibn `Âmir. Sedangkan ulama yang membaca memendekkan bacaan lâm di antaranya adalah Hamzah dan al-Kisâ’î.[13]

Sehubungan dengan qirâ’atلمسْتُمُ النِّسَاءَ , ada tiga versi pendapat para ulama mengenai makna لمسْتُمُ  , yaitu bersetubuh ( جَا مَعْتُمْ ), bersentuh-sentuhan kulit ( بَاشَرْتُمْ ) dan bersentuh-sentuhan disertai bersetubuh ( يُجْمَعُ الأَمْرَيْنِ جَمِيْعًا ). Demikian pula makna لاَمَسْتُمُ menurut mayoritas para ulama. Akan tetapi sebahagian ulama, antara lain, Muhammad ibn Yazîd berpendapat, bahwa makna لاَمَسْتُمُ yang lebih tepat adalah berciuman (قَبَّلْتُمْ ) dan yang sejenisnya, karena kedua belah pihak bersifat aktif. Sementara makna لمسْتُمُadalah menyentuh ( مَسَسْتُمْ ), karena pihak wanita (yang disentuh) dalam hal ini tidak aktif.[14]

Sehubungan dengan ini, para ulama berbeda pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan لاَمَسْتُمُ dalam ayat tersebut di atas. Ibn `Abbâs, al-Hasan, Mujâhid, Qathâdah dan Abû Hnîfah berpendapat bahwa maksudnya adalah bersetubuh ( الجِمَاعُ ). Sementara itu, Ibn Mas`ûd, Ibn `Umar, al-Nakha’î dan Imam al-Syâfi`i berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersentuhan kulit ( إِلْتِقَاءُ الْبَشَرَتَيْنِ ) baik dalam bentuk persetubuhan maupun dalam bentuk yang lainnya.[15]

Dalam kaitan ini, Imam al-Râzi berkomentar, bahwa pendapat yang disebut di akhir adalah lebih kuat, karena kata al-lums dalam qirâ’at أَوْ لمَسْتُمُ النِّسَاءَ hakikatnya adalah menyentuh dengan tangan. Pada dasarnya, demikian lanjut al-Râzi, suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakiki. Sementara itu, kata al-mulâmasah dalam qira’at أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ makna hakikinya adalah saling menyentuh ( مُفاَعَلَةُ مِنَ المَسّ ) dan bukan berarti bersetubuh ( الجِمَاعُ ).[16]

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi penyebab perbedaan pemahaman para ulama dalam menanggapi ayat adalah dari segi perbedaan qiraat yang dipakai masing-masing ulama tersebut.

 

Mad dan Qashar yang Tidak Berpengaruh terhadap Makna Namun Berpengaruh terhadap Kaidah-kaidah Ilmu Tajwid.

Huruf-huruf yang dimadkan pada ayat-ayat dalam al-Qur’ân mempunyai kadar mad yang berbeda-beda, tergantung pada tanda baca yang terdapat pada huruf tersebut. Seorang qâri’ yang membaca al-Qur’ân mesti memenuhi kadar mad masng-masing huruf tersebut. Namun, seandainya kadar mad itu tidak terpenuhi oleh qâri’ dalam pembacaan al-Qur’ân  dalam arti mengurangi kadar madnya, maka akan berpengaruh pada kaidah-kaidah ilmu tajwid, sebagai disiplin ilmu yang mengatur kadar mad tersebut.

Di antara contoh-contoh ayatnya adalah sebagai berikut:

  1. Q. S. Al-An`âm: 7

وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوْهُ بِأَيْدِيْهِمْ لَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا إِنْ هَذَا إِلاَّ سِحْرٌ مُبِيْنٌ

Artinya: “Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang yang kafir itu berkata: ‘Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata’.”

 

Mad huruf ذ pada kata هذا adalah madd Jâiz Munfashil[17]. Kadar madnya lebih lama daripada kadar madd ashli. Kesalahan dalam pemakaian kadar mad pada madd Jâiz Munfashil seperti pada ayat di atas tidak akan berpengaruh pada rusaknya makna ayat. Namun dalam pandangan ilmu tajwid kesalahan tersebut akan menyalahi kaidah-kaidah imu tajwid yang berlaku.

 

  1. Q. S. Al-Baqarah: 5

أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

 

Artinya: “Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.”

 

Pada ayat di atas, terdapat madd Wâjib Muttashil, yaitu pada kata  أولئك . Kadar mad pada kata ini sama dengan kadar mad pada madd Jâiz Munfashil, yaitu lebih lama daripada kadar madd ashli. Kesalahan bacaan pada madd Wâjib Muttashil tidak akan berpengaruh pada rusaknya makna ayat tersebut. Namun kesalahan tersebut menyalahi ketentuan atau kaidah-kaidah ilmu tajwid.

 

  1. Huruf-huruf Muqaththa`ah pada Fawâtih al-Suwar, seperti:

ن , ص , ق . Mad yang tedapat pada huruf-huruf Muqaththa`ah ini adalah madd Lâzim Harfiy Musyba` Mukhaffaf. Ketentuan dalam ilmu tajwid, cara membacanya dilamakan 3 alif yaitu sebanyak 6 harkat (ketukan). Kesalahan dalam membaca huruf-huruf tersebut dari segi kadar madnya tidak akan berpengaruh pada berubah atau rusaknya makna ayat tersebut. Akan tetapi kesalahan seperti itu menyalahi ketentuan atau kaidah-kaidah ilmu tajwid. Walaupun huruf-huruf Muqaththa`ah itu tidak diterjemahkan, namun tetap mempunyai ketentuan dalam membacanya yang telah diatur sedemikian rupa dalam ilmu tajwid.

 

  1. Huruf-huruf Muqaththa`ah yang terdiri dari dua atau tiga kata seperti; يس , طه , الر dan حم dinamakan dengan maddLâzim Harfiy Mukhaffaf. Namun, madd Lâzim Harfiy Mukhaffaf ini hanya pada huruf  ح ر ط ه ي  . Cara membacanya menurut literatur ilmu tajwid adalah dilamakan satu alif yaitu sebanyak dua harkat (ketukan). Begitulah kadar mad yang yang diajarkan dalam ilmu tajwid. Seandainya bacaannya melebihi atau mengurangi kadar yang ditentukan, tidak akan berpengaruh pada rusaknya makna ayat tersebut, namun hanya dipandang menyalahi ketentuan atau kaidah ilmu tajwid.

 

  1. Q. S. Al-Baqarah: 255

 ….مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهْمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ ….

Artinya: “…. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya ….”

 

Mad yang terdapat pada huruf yang digaris bawahi pada ayat di atas adalah madd Shilah Thawîlah, yaitu dhamîr hâyang dilamakan membacanya jika sesudahnya ada huruf hamzah.Dalam ilmu tajwid cara membacanya dilamakan sampai 2 ½ alif, yaitu sebanyak 5 harkat (ketukan).

Seandainya kadar mad pada pembacaannya kurang dari ketentuannya, maka tidak akan berpengaruh pada rusaknya makna dari ayat tersebut, namun hanya akan menyalahi ketentuan atau kaidah-kaidah yang telah ditentukan dalam ilmu tajwid. Walaupun demikian, sebagai umat muslim yang berpegang pada al-Qur’ân, hendaknya dapat membaca al-Qur’ân dengan baik dan benar tanpa menyalahi kaidah-kaidah yang telah ditentukan dalam ilmu tajwid.

 

Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah di uraikan pada bab-bab sebelumnya tentang pengaruh mad dan qashar terhadap makna ayat al-Qur’ân, maka diperoleh poin-poin penting sebagai suatu kesimpulan:

  1. Bentuk pengaruh yang paling fatal dari kekeliruan pemakaian mad dan qashar pada pembacaan ayat al-Qur’ân adalah sebagai berikut:
    1. Mengubah makna suatu ayat pada makna yang bertentangan dengan yang sebenarnya. Bentuk pengaruh seperti ini yaitu dengan menukar fungsi لا  dariLâ Nâfiyyat li al-Jinsi menjadi Lâm al-Ta’kîd  (ل ) atau sebaliknya.
    2. Mengubah subjek atau pelaku pada ayat-ayat yang bercerita tentang suatu kisah. Ini berlaku pada fi`l al-Mâdhi. Bentuk pengaruhnya yaitu mengubah fi`l dari bentuk mutsanna menjadi bentuk mufrad atau sebaliknya. Maksudnya, subjek atau pelaku fi`l berubah dari dua menjadi satu orang atau sebaliknya.
    3. Bentuk pengaruh yang tidak merusak makna ayat namun hanya menukar arti kata kepada kata sinonim atau kata yang mempunyai makna yang sama.
    4. Bentuk pengaruh pada perbedaan pemahaman para ulama. Bentuk seperti ini biasanya disebabkan perbedaan qirâ’at. Seorang ulama berpegang pada qirâ’at dari riwayat yang berbeda dengan riwayat yang diperpegangi ulama lainnya. Oleh karena itu, pengaruhnya hanya pada perbedaan pemahaman saja. Selain sebab qirâ’at, perbedaan pemahaman juga ditimbulkan dari cara memahami suatu kata yang berbeda antara satu ulama dengan ulama yang lain, serta pemahaman marja` dhamîr pada ayat yang memakai dhamîr atau pengambilan ma`thûf `alaih yan berbeda antara para ulama tersebut.
    5. Bentuk pengaruh yang tidak merusak makna ayat namun menyalahi kaidah-kaidah ilmu tajwid. Bentuk pengaruh ini seperti kurang atau berlebihnya kadar mad pada bacaan al-Qur’ân, namun terbatas pada mad-mad sebagai berikut:
      1. a.      Madd Wâjib
      2. b.      Madd Jâiz
      3. c.       Madd Lâzim Mutsaqqal
      4. d.      Madd Lâzim Mukhaffaf
      5. e.       Madd Shilah Thawîlah

 

Seorang muslim yang meyakini keberadaan al-Qur’ân sebagai kitabullah dan mengamalkan isi kandungannya, hendaknya dapat memahami al-Qur’ân itu dengan baik dan benar. Namun, sebelum sampai pada tingkat pemahaman al-Qur’ân, setiap muslim mesti bisa membaca al-Qur’ân sesuai dengan petunjuk dan kaidah-kaidah yang telah ditentukan dalam ilmu tajwid.

 

Daftar Pustaka

Al-Bukhâri, Muhammad ibn Ismâîl Abû `Abdillâh al-Ju`fî, 1987, al-Jâmi` al-Shahîh al-Mukhtashar (Shahîh al-Bukhârî), Beirut: Dâr Ibn Katsîr

Faisol, Yufni, 2003, Pengaruh Perbedaan Qirâ’at terhadap Makna Ayat; Suatu Tinjauan Qawâ’id Bahasa Arab, Disertasi Doctor pada UIN Jakarta, tidak diterbitkan

Al-Ghulâyaini, Syaikh Musthafâ ibn Salîm, 2007, Jâmi` al-Durûs al-`Arabiyyah, Libanon: Dâr al-Fikr

Hasanuddin AF, 1995, Anatomi al-Qur’ân: Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur’ân, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Al-Ibyâri, Ibrâhîm, 1965, Tarikh al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Kalâm

Al-Jamzûri, Sulaimân, tt., Fath al-Aqfâl, Semarang: Maktabah al-`Alawiyyah

Al-Kailânî, Hisâm al-Dîn Sulaim, 1999, al-Bayân fî Ahkâm Tajwîd al-Qur`ân, Sûriyyah: T. Pn

Al-Mahmûd, Muhammad, t. th., Hidayat al-Mustafîd fî Ahkâm al-Tajwîd, Surabaya: Maktabah Muhammad ibn Ahmad Nabhânî wa Aulâdih

Al-Marâghi, Ahmad Musthafa, 1946, Tafsir al-Marâghi Jilid 29 cet I,Kairo: Musthafa al-Bâbiy al-Halabiy wa Aulâduh

Muhammad, Malla `Ali ibn Sulthân, t. th., al-Minâh al-Fikriyyah, Syarh al-Muqaddimat al-Jazariyyah, Surabaya: Bungkul Indah

Al-Munawar, Said Agil Husain, 2003, Al-Qur’ân Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press

Nashr, Muhammad Makkî, t. th., Nihâyat al-Qaul al-Mufîd fî `Ilm al-Tajwîd, Bogor: al-Barokah

Al-Nawâwî, Yahya ibn Syaraf, t. th., al-Tibyân fî Adab Hamâlah al-Qur’ân, t. tp.: Maktabah al-Qur`ân

Al-Qâdhah, Muhammad `Ishâm Muflih, 1998, al-Wâdhih fî Ahkâm al-Tajwîd cet. III, T. tp., Dâr al-Nafâ’is

Al-Qamhâwî Muhammad al-Shâdiq, t.t., al-Burhân fî Tajwîd al-Qur`ân, (Beirut: Maktabah al-Tsaqâfiyyah

Al-Qaththân, Mannâ` Khalîl,t. th., Mabâhits Fî `Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Rasyîd

Al-Sabt, Khâlid ibn `Utsmân, 1421 H, Qawâ`id al-Tafsîr Jam`an wa Dirâsatan, Mesir: Dâr Ibn `Affân

Al-Shâbûni, Muhammad Alî, 1980, al-Tibyân fî Ulûm al-Qur’ân, T. tp.: T. pn.

Al-Shâlih, Subhi, 1988, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Ilmi li al-Malâyin

Shihab, Muhammad Quraish, 1994, Membumikan Al-Qur’ân, Bandung: Mizan

Al-Sunaidi, Salman ibn `Umar, 2008, Mudahnya Memahami al-Qur’ân (Judul asli: Tadabbur al-Qur’ân, Jakarta: Dâr al-Haqq,

Al-Suyûthi, `Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr, 1407 H, al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Maktabah al-`Ashriyyah

Al-Zarkasyi, Badr al-Dîn Muhammad ibn `Abdullâh, 1957, al-Burhân fî `Ulûm al-Qur’ân, Mesir: `Îsa al-Bâbi al-Halabî

Al-Zarqâni, Muhammad `Abdul `Azîm, T.t., Manâhil al-`Urfân fî `Ulûm al-Qur’ân, Mesir: `Îsa al-Bâbi al-Halabî

 



[1]Penulis adalah dosen tetap STAIDA Payakumbuh, lulusan Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang Prodi Pengkajian Islam Konsetrasi Tafsir Hadis tahun 2013.

[2] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qurân, (Bandung: Mizan, 1994), h. 6

[3] Muhammad ibn Ismaîl Abû `Abdillâh al-Ju`fî al-Bukhârî, al-Jâmi` al-Shahîh al-Mukhtashar (Shahîh al-Bukhârî) Juz IV, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987) h. 1919

[4]Ibid., h. 988

[5] AhmadMusthafa al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi Jilid 29 cet. I, (Kairo: Musthafa al-Bâbiy al-Halabiy wa Aulâduh, 1946), h. 111

[6] Ismail Tekan, Tajwid Quranul Karim, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1995), h. 13

[7]Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubî, al-Jâmi` li Ahkâm al-Qurn j. 10, (Riyâdh: Maktabah al-Riyâdh, t. th.), h. 37

[8]Muhammad al-Mahmûd, Hidâyat al-Mustafîd fî Ahkâm al-Tajwîd, (Surabaya: Maktabah Muhammad ibn Ahmad Nabhâni wa Aulâdih, t. th.) h.12

[9]Ibid.

[10]Mutsannâ merupakan kata yang menunjukkan dua orang. Jadi, kata balaghâ di sini berarti mereka berdua telah sampai, yaitu Nabi Musa As. dan pembantunya.

[11]Sobhan Lubis, Ragam Qirâ’at dalam Surat al-Baqarah, (Padang: Baitul Hikmah, 2005), h. 92

[12] Ibnu Khalawaih, Al-Hujjah fî al-Qirâ’at al-Sab`i, (Kairo: Dâr al-Syark, 1976), h. 83

[13]Lihat: Ibn Mujâhid, Kitâb al-Sab`at fî al-Qirâ’at, (Mesir: Dâr al-Ma`ârif, t. t.), h. 182

[14]Lihat: Al-Qurthubî, al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur’ân, (T. tp.: T. pn., t. t.), Juz ke-5, h. 223

[15]Lihat: Imam Muhammad al-Râzi, Mafâtih al-Ghaib, (T. tp.: Dâr al-Fikr, t. t.), Juz ke-9 h. 115

[16]Ibid.

[17]Madd Jâiz Munfashil adalah apabila huruf mad Ashli pada satu kata bertemu dengan hamzah pada kata yang lain. Lihat: Acep Iim Abdurohim, op. cit., h. 141