SHALAT KHUSYU’ MENURUT TUNTUNAN SYARIAT
Afdhil Fadli
Abstract
This article discusses about the nature of khusu’ prayer based on the Islamic syari’at. Most Muslims judge that a khusu’ prayer is something difficult to learn, while Quran states that one of characteristic of fiirdaus eden is a person who can do the khusu’ prayer.
Shalat is an obedience which is different from another one. It was assigned to Prophet Muhammad through isra’ andmi’raj. Shalat is vertical contact between a creater and a creature. Also, it is a constraint to design a very good character. Shalat is puprosed to prevent a bad and illegal action. In order to reach the goal, however, a moslem must do shalat in a such khusu’ manner. It is impossible for a moslem to gain the goal of shalat without doing it in akhusu’ manner.
On the other side, due to the lack of comprehension on khusu’ prayer, many people conduct a training of khusu’ prayer as if it is based on the sunnah.Naturallay, the meaning of khusu’ prayer has broader scope compared to what clarified in the training itself.
Key Words : shalat khusyu, syari’at
Pendahuluan
Shalat adalah ibadah yang sangat istimewa. Ibadah ini disampaikan secara langsung oleh Allah melalui peristiwa besar yang dialami seorang hamba yang bernama Muhammad SAW dalam sebuah peristiwa yang dinamakan Isra’ dan Mi’raj. Shalat adalah ibadah paling utama dalam Islam, bahkan ia adalah amal pertama yang akan ditanyakan Allah kepada seseorang dihari penghisaban nanti.
Begitu penting shalat ini maka Allah SWT mewajibkan seorang muslim untuk mengerjakannya, bagaimanapun kondisinya. Tidak dapat digantikan seperti halnya puasa Ramadhan, yang dapat diganti dihari lain, atau membayar fidyah. Shalat harus dilaksanakan oleh seorang muslim yang berada dalam kondisi tersadar (tidak pingsan atau tidur) bagaimanapun payahnya. Bahkan bagi yang sakit, bila tak mampu berdiri maka duduk, bila tak mampu duduk berbaring. Dan bagi seseorang yang sangat parah sakitnya, bisa dengan isyarat mengedipkan mata.
Shalat yang sempurna adalah sholat yang diiringi dengan hati khusyu’. Shalat adalah aktifitas jasad dan hati. Shalat khusyu’ merupakan dambaan setiap insan, bahkan berbagai macam cara dilakukan seseorang untuk menggapai Shalat khusyu’, diantara mereka ada yang mematikan lampu ketika shalat, ada yang memejamkan matanya, ada yang mengosongkan semua fikirannya, ada yang merasakan terbangnya rohnya ketika shalat, bahkan untuk menggapai kekhusyukan mereka membuat pelatihan-pelatihan shalat khusyu’. Tentunya semua hal ini menimbulkan suatu pertanyaan, apakah memang seperti itu shalat khusyu’? Apakah cara-cara seperti tersebut sudah sesuai menurut tuntunan Rasulullah SAW?. Melalui tulisan ini akan dikupas kenapa pentingnya shalat khusyu’? Apa definisi khusyu’? Apa hukumnya dan apa kiat-kiat untuk menggapainya?
Pengertian
Shalat khusyu’ terdiri dari dua suku kata shalat dan khusyu’. Secara etimologi shalat berarti do’a. Secara terminologi/istilah, para ahli fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang dengannya seorang beribadah kepada Allah menurut syarat – syarat yang telah ditentukan.[1]Secara hakiki adalah “berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya” atau “menzahirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua – duanya”.[2]
Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang di dalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’.[3]
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara dan mempunyaimuatan penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-Nya.
Sedangkan khusyu’ adalah adalah patuh pada kebenaran. Ada yang mengatakan bahwa khusyu adalah rasa takut yang terus menerus ada di dalam hati.[4] Lebih jelas lagi, Syeikh Ala’udin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi mengatakan, khusyu dalam shalat adalah menyatukan konsentrasi dan berpaling dari selain Allah serta merenungkan segala yang diucapkannya, baik berupa bacaan Al-Qur’an maupun dzikir.[5] Jadi khusyu merupakan kondisi di mana seseorang melakukan shalat dengan memenuhi segala syarat, rukun dan sunnah shalat, serta dilakukan dengan tenang, penuh konsentrasi, meresapi dan menghayati ayat juga semua dzikir yang dibaca dalam shalat.
Dengan cara inilah shalat yang kita lakukan setiap hari akan menjadi khusyu serta memberikan implikasi yang positif pada kehidupan seorang hamba. Yakni mencegah manusia dari perbuatan buruk dan kemungkaran. Allah SWT berfirman:
… إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ (٤٥)
Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan yang buruk dan mungkar. (Qs. al-Ankabut: 45)
Melihat arti pentingnya khusyu’ dalam shalat, Syeikh Ali Ahmad aj-Jurjawi berkata bahwa ketika seorang hamba telah mampu melaksanakan shalat dengan khusyu berarti ia telah sampai pada tingkat keimanan yang sempurna. Sebagaimana disebutkan dalam kitab karangan beliau, bahwa “sesungguhnya khusyu dan menghadirkan hati dalam shalat, serta tenangnya anggota (melaksanakan sesuai syarat dan rukunnya) merupakan iman yang sempurna.”[6]
Karena itu orang yang melaksanakan shalat, tapi hatinya tidak khusyu’, maka seakan-akan ibadah yang dilakukannya sia-sia, karena tidak diterima di sisi Allah.Harus diakui bahwa khusyu ini merupakan perkara yang berat sekali. Apalagi bagi orang yang masih awam. Sedikit sekali orang yang mampu khusyu dalam shalatnya. Kalau kenyataannya seperti itu, maka minimal yang bisa kita lakukan adalah bagaimana khusyu itu bisa terwujud dalam shalat kita walaupun hanya sesaat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali, tidak mungkin untuk mensyaratkan manusia agar menghadirkan hati (khusyu) dalam seluruh shalatnya. Karena sedikit sekali orang yang mampu melaksanakannya, dan tidak semua orang mampu mengerjakannya. Karena itu, maka yang dapat dilakukan adalah bagaimana dalam shalat itu bisa khusyu walaupun hanya sesaat saja.[7]
Dalil Anjuran Khusyu’ dalam Sholat:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ (٤٥)الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (٤٦)
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. (Yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 45-46).
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (١)الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ (٢)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya.” (Qs. Al-Mukminun: 1-2).
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (٢٣٨)
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Qs. Al-Baqarah: 238).
عَنْ أَنسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” َاْذُكُرِ الْمَوْتَ فِى صَلاَتِكَ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِى صَلاَتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلاَتَهُ وَصَلَّى صَلاَةَ رَجُلٍ لاَ يَظُنُّ أَنَّهُ يُصَلِّى صَلاَةً غَيْرَهَا وَإِيَّاكَ وَكُلُّ أَمْرٍ يُعْتَذَرُ مِنْهُ ” رواه الديلمي فى مسند الفردوس وحسنه الحافظ ابن حجر و تابعه الألباني
Anas ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Ingatlah akan kematian dalam shalatmu karena jika seseorang mengingat kematian dalam shalatnya tentu lebih mungkin bisa memperbagus shalatnya dan shalatlah sebagaimana shalatnya seseorang yang mengira bahwa tidak bisa shalat selain shalat itu. Hati-hatilah kamu dari apa yang membutmu meminta ampunan darinya.” (Diriwayatkan Ad-Dailami di Musnad Firdaus, Al-Hafidz Ibnu Hajar menilainya hasan lalu diikuti Albani.
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عِظْنِي وَأَوْجِزْ فَقَالَ إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا وَاجْمَعْ الْإِيَاسَ مِمَّا فِي يَدَيْ النَّاسِ رواه أحمد وحسنه الألباني
Abu Ayyub Al-Anshari ra berkata, seseorang datang kepada Nabi saw. lalu berkata, “Nasihati aku dengan singkat.” Beliau bersabda, “Jika kamu hendak melaksanakan shalat, shalatnya seperti shalat terakhir dan janganlah mengatakan sesuatu yang membuatmu minta dimaafkan karenanya dan berputus asalah terhadap apa yang ada di angan manusia.” (Diriwayatkan Ahmad dan dinilai hasan oleh Albani).
عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الرَّحَى مِنْ الْبُكَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رواه أبو داود و الترمذي
Dari Mutharif dari ayahnya berkata, “Aku melihat Rasulullah saw shalat dan di dadanya ada suara gemuruh bagai gemuruhnya penggilingan akibat tangisan.” (Diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi).
عَنْ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ “مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأ فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْمُ فِى صَلاَتِهِ فَيَعْلَمُ مَا يَقُوْلُ إِلاَّ انْتَفَلَ وَهُوَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ رواه الحاكم وصححه الألباني
Utbah bin Amir meriyatkan dari Nabi yang bersabda, “Tidaklah seorang muslim berwudhu dan menyempurnakan wudhunya lalua melaksakan shalat dan mengetahuai apa yang dibacanya (dalam shalat) kecuali ia terbebas (dari dosa) seperti di hari ia dilahirkan ibunya.” (Diriwayatkan Al-Hakim dan dinilai shahih oleh Albani).
Hukum Khusyu’ dalam Shalat
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (١)الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ (٢)
Syarat-syarat Menggapai Khusyu
Syarat untuk berlaku khusyu’ dapat dipahami dari firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 45-46:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ (٤٥)الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (٤٦)
Dalam ayat di atas dinyatakan bahwa syarat khusyu’ adalah adanya suatu keyakinan akan menemui Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Adanya keyakinan akan berjumpa dengan Tuhan untuk mempertanggung jawabkan seseorang untuk berlaku khusyu’ karena yang terjalin di benaknya ialah adanya kekhawatiran ketika menghadap Dzat Yang Mahakuasa ini. Dengan demikian segala aktifitasnya di dunia selalu dilandasi atas keridhaan Tuhan dan dalam situasi yang seperti inilah berlaku kekhusyukan baginya.
Sedangkan dalam Qs. Ali Imran 199, Allah berfirman:
وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلَّهِ لا يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلا أُولَئِكَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (١٩٩)
“Sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah Amat cepat perhitungan-Nya. (Qs. Ali Imran:199)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa syarat untuk menggapai tingkat khusyu’ ialah tidak memperjualbelikan ayat-ayat Tuhan dengan harga yang murah. Maksudnya tidak memanipulasi ayat-ayat Tuhan gara-gara ingin merebut kedudukan dan kegemerlapan duniawi, karena dunia ini sedikitpun tidak ada harganya pada sisi Tuhan.
Penegasan ayat ini menunjukkan bahwa khusyu’ baru dapat digapai dengan syarat bila ayat-ayat Tuhan tidak pernah dipelintir untuk kepentingan duniawi.
Selanjutnya syarat untuk menggapai predikat khusyu’ ialah bersegera mengerjakan kebaikan sebagaimana diinformasikan melalui Qs. Al-Anbiya’ : 90:
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ (٩٠)
“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami.” (Qs. Al-Anbiya’: 90)
Artinya dalam hal kebaikan tidak pernah menunda-nunda waktu dan senantiasa merasa terpanggil untuk melakukannya baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah. Perlakuan dan sikap yang seperti ini dijadikan sebagai syarat untuk mendaki puncak khusyu’ karena perbuatan baik adalah simbol dari sifat-sifat Tuhan
. Berdasarkan informasi ini dapat diketahui bahwa untuk mendapatkan nilai khusyu’ maka seseorang harus memenuhi kriteria-kriteria sebagaimana yang digambarkan oleh ayat-ayat di atas. Oleh karena itu khusyu’ tidak akan datang dengan sendiri kecuali setelah seseorang dapat memenuhi persyaratan dengan baik sebagaimana yang telah diungkapkan dan sangat tipis harapan bila predikat khusyu’ akan didapat bila hanya sekadar berbekal do’a.
Kiat Shalat Khusyu’ menurut Rasulullah
Dalam meraih shalat khusyu’ Rasulullah telah memberikan kiat-kiat yang jelas, bahkan para ulama telah membuat bab-bab dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Ibnu Hajar al-Asqalani membuat bab Anjuran Khusyu’ dalam shalat.[8] Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Munajjid menjelaskan bahwa untuk mencapai khusyu’ dalam shalat ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan:[9]
Untuk mencapai hal-hal yang akan mendatangkan kekhusyukan ada beberapa kiat yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah, diantaranya:
Adapun bentuk-bentuk persiapannya yaitu: ikut menjawab azan yang dikumandangkan oleh muazin, kemudian diikuti dengan membaca do’a yang disyariatkan, bersiwak, karena hal ini akan membersihkan mulut dan menyegarkannya, kemudian memakai pakaian yang baik dan bersih, sebagaimana firman Allah:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (٣١)
“Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid, makanlah dan minumlah. Jangan berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (QS. al-A’raaf: 31)
Di antara bentuk persiapan lain adalah berjalan ke masjid dengan penuh ketenangan dan tidak tergesa-gesa, lalu setelah sampai di depan masjid, maka masuk dengan membaca do’a dan keluar darinya juga membaca do’a. Melaksanakan shalat sunnat Tahiyyatul masjid ketika telah berada di dalam masjid. Merapatkan dan meluruskan shaf, karena syetan berupaya untuk mencari celah untuk ditempatinya dalam barisan shaf shalat.
Rasulullah selalu tuma’ninah dalam shalatnya, sehingga seluruh anggota badannya menempati posisi semula, bahkan Rasulullah memerintahkan orang yang buruk shalatnya supaya melakukan tuma’ninah sebagaimana sabda beliau: “Tidak sempurna shalat salah seorang diantara kalian, kecuali dengannya (tuma’ninah).” Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah menyamakan orang yang tidak tuma’ninah tersebut dengan orang yang mencuri dalam shalatnya:
أسوأ الناس سرقة الذى يسرق من صلاته قالوا كيف يسرق من صلاته قال لا يتم ركوعها ولا سجودها ولا خشوعها (أحمد([10]
“Bahwa Rasulullah bersabda: “Seburuk-buruk pencurian yang dilakukan manusia adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para sahabat bertanya,”ya Rasulullah, bagaimana orang yang mencuri sholatnya?Lalu beliau bersabda: “Ia tidak menyempurnakan ruku’, sujudnya dan khusyu’nya.” (HR. Ahmad)
Orang yang tidak tuma’ninah dalam shalatnya, tentu tidak akan merasakan kekhusyukan, sebab menunaikan shalat dengan cepat akan menghilangkan kekhusyukan, seperti shalat mematuk burung, maka hal itu akan menghilangkan pahala.
Oleh karena itulah karena pentingnya tuma’ninah, maka wajib bagi seorang muslim untuk tuma’ninah dalam shalatnya sehingga shalatnya diterima oleh Allah.
Hal ini berdasarkan wasiat Rasulullah: “Apabila engkau shalat maka shalatlah seperti orang yang hendak berpisah (mati)”.[11]
Jelaslah bahwasanya hal ini akan mendorong setiap orang untuk bersungguh-sungguh dalam shalatnya, karena orang yang akan berpisah tentu akan merasa kehilangan dan tidak akan berjumpa kembali. Sehingga akan muncul upaya dari dalam dirinya untuk bersungguh-sungguh, dan hal ini seolah-olah baginya merupakan kesempatan terakhir untuk shalat.
Al-Quran diturunkan agar direnungkan dan dihayati maknanya, sebagaimana firman Allah:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ (٢٩)
“Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”. (Qs. Shaad: 29)
Sikap penghayatan tidak akan terwujud kecuali dengan memahami makna setiap yang kita baca.
Dengan memahami maknanya, maka seseorang akan dapat menghayati dan berfikir tentangnya, sehingga mengucurlah air matanya, karena pengaruh makna yang mendalam sampai ke lubuk hatinya. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا (٧٣)
“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Robb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang yang tuli dan buta”. (Qs. al-Furqan: 73)
Di dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan betapa pentingnya memperhatikan makna dari ayat yang dibaca. al-Imam Ibnu Jarir berkata: “Sesungguhnya saya sangat heran kepada orang yang membaca al-Quran, sementara dia tidak mengetahui maknanya. Bagaimana mungkin dia akan mendapatkan kelezatan ketika dia membacanya?[12]
Hal ini merupakan kebiasaan Nabi SAW, sebagaimana yang dikisahkan oleh Ummu Salamah tentang bagaimana Rasulullah dalam membaca al-fatihah, yaitu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Basmalah, kemudian berhenti, kemudian membaca ayat berikutnya lalu berhenti. Demikian seterusnya sampai selesai (HR. Abu Daud, no. 4001)
Hal ini berdasarkan firman Allah:
… وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا (٤)
“Dan bacalah al-Quran dengan perlahan-lahan”. (Qs. al-Muzammil: 4)
Dan diriwayatkan dengan shahih bahwa bacaan Rasulullah adalah perlahan-lahan serta satu huruf-satu huruf.[13]
Membaca dengan perlahan dan tartil lebih bisa membantu untuk merenungi ayat-ayat yang dibaca dan mendatangkan kekhusyu’an. Adapun membaca dengan ketergesa-gesaan akan menjauhkan hati dari kekhusyukan.
Dalam hal ini Rasulullah bersabda dalam hadits Qudsi: “Allah berfirman: ‘Aku membagi Shalatku dengan hamba-Ku-menjadi dua bagian, dan bagi hambaku setiap apa yang dia minta. Jika hamba-Ku mengucapkan Alhamdu lillahi Robbil’alamin, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘hamba-Ku telah menyanjung-Ku. Jika ia mengucapkan Ma likiyaumiddin, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Hamba-Ku telah memuliakan dan mengagungkan-Ku”.[14] (Shahih Muslim, Kitabus Shalat, Bab Wajibnya Membaca al-Fatihah dalam Setiap Rakaat)
Hadits yang mulia ini menjelaskan kepada kita bahwa seseorang yang sedang melaksanakan shalat, yaitu ketika ia membaca al-Fatihah maka bacaan tersebut mendapat balasan langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla, maka ini akan menjadi pendorong kita dalam mencapai kekhusyukan.
Hal ini lebih bertujuan untuk memperpendek dan menjaga penglihatan orang yang sedang melaksankan Shalat, sekaligus menjaga dirinya dari syetan. Disamping itu juga dapat menjauhkan diri dari lalu lalangnya orang yang lewat di sekitar kita, karena lewatnya orang lain secara hilir mudik dapat mengganggu kekhusyukan shalat.
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang diantara kalian melaksanakan Shalat dengan menggunakan tabir, maka hendaklah ia mendekat padanya, sehingga syetan tidak akan memotong Shalatnya”.[15]
Adapun jarak antara seseorang dengan tabir (sutrah) adalah tiga kali panjang lengan, dan antara tabir dengan tempat sujudnya adalah, seluas tempat lewatnya seekor kambing, sebagaimana yang banyak disebut dalam hadits-hadits shahih.[16]
“Adalah Rasulullah jika sedang Shalat,beliau meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri”. (HR. Muslim )
Imam Ibnu Hajar berkata: “Para ulama berkata: ‘Hikmah dari sikap tersebut (meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri di dada)-pen merupakan bentuk sifat dari seseorang yang meminta-minta dengan perasaan hina, sikap tersebut lebih mampu menghindarkan sifat main-main, dan lebih dekat kepada kekhusyukan”.[17]
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sedang shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepala serta mengarahkan pandangannya ke tanah (tempat sujud)”. (HR. al-Hakim 1/479)[18]
Dari sini jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shalat melihat ke arah tempat sujud dan tidak memejamkan matanya, maka orang yang memejamkan matanya berarti amalannya bertentangan dengan sunnah.
Godaan syetan akan selalu datang kepada siapa saja yang akan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, oleh karena itu seorang hamba hendaknya tegar dalam beribadah kepada Allah Ta’ala, seraya tetap melakukan amalan-amalan zikir ataupun shalat,dan jangan sampai goyah, sebab dengan selalu menekuni hal-hal tersebut godaan dan tipu daya syetan akan hilang dengan sendirinya. Allah berfirman:
… إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا (٧٦)
“Sesungguhnya tipu daya syetan itu adalah lemah.(Qs. an-Nisa’: 76)
Rasulullah bersabda: “Jika seorang diantara kalian berdiri shalat, maka datanglah syetan, kemudian ia mengacaukannya (mengacaukan shalatnya dan memasukkan padanya keraguan) sehingga tidak mengetahui berapa rakaat ia shalat. Jika salah seorang diantara kalian mendapati hal demikian, maka hendaklah ia bersujud dua kali ketika dia sedang duduk”. (HR. Bukhari)
Adapun faktor yang kedua dari hal-hal yang akan membawa kekhusyukan adalah dengan mengetahui penghalang-penghalang kekhusyukan dan menolaknya. Adapun penghalang-penghalang kekhusyukan adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Adalah ‘Aisyah memiliki selembar kain yang berwarna-warni yang digunakan untuk menutupi bagian samping rumahnya. Melihat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Hilangkan itu dari pandanganku, sebab gambar-gambarnya selalu terbayang dan menggoda pandanganku pada waktu shalat”. (HR. Bukhari)[19]
Termasuk perkara yang harus dihindari adalah Shalat di tempat lalu lalang manusia, tempat yang ramai dan gaduh serta berisik, di dekat orang yang sedang bercakap-cakap.
Hal ini jelas akan mengganggu kekhusyukan dalam shalat.
Rasulullah bersabda: “Tidak baik Shalat dilaksanakan di hadapan (di dekat) makanan yang telah dihidangkan”. (HR. Muslim).[20]
Jika makanan yang telah dihidangkan dan berada dihadapannya, maka ia berhak mendahulukan makan, sebab jika ia tidak makan dan meninggalkannya (tidak makan terlebih dahulu), ia tidak akan merasa khusyu’ dan hatinya akan selalu teringat pada makanan tersebut, bahkan seyogyanya dia tidak tergesa-gesa dalam memakannya sehingga betul-betul terpenuhi hajatnya.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian merasa mengantuk dalam shalat, hendaklah ia tidur terlebih dahulu, sehingga ia mengetahui apa yang diucapkannya”. (HR. Bukhari).[21]
Rasulullah bersabda: “Janganlah Shalat di belakang orang yang sedang tidur dan juga orang-orang yang sedang bercakap-cakap”. (HR. Abu Daud).[22]
Suara orang-orang yang sedang bercakap-cakap dapat merusak konsentrasi seseorang yang sedang Shalat.
Karena hal ini jelas akan mengganggu kekhusyukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat dalam kondisi Haaqin yaitu menahan buang air kecil dan besar. (HR. Ibnu Majah).[23]
Driwayatkan dalam hadits bahwasanya: “Rasulullah melarang tiga perkara dalam Shalat, yaitu perilaku mematuk seperti burung gagak, duduk seperti duduknya binatang buas, mengambil tempat tertentu sebagaimana unta mengambil tempat duduknya (menderum)”. (HR. Ahmad).[24]
Kesimpulan
Khusyu merupakan kondisi di mana seseorang melakukan shalat dengan memenuhi segala syarat, rukun dan sunnah shalat. Serta dilakukan dengan tenang, penuh konsentrasi, meresapi dan menghayati ayat juga semua dzikir yang dibaca dalam shalat.
Dengan cara inilah shalat yang kita lakukan setiap hari akan menjadi khusyu’ serta memberikan implikasi yang positif pada kehidupan kita. Yakni mencegah manusia dari perbuatan buruk dan kemungkaran. Sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:
… إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ (٤٥)
Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan yang buruk dan mungkar. (QS Al-Ankabut: 45)
Melihat arti pentingnya khusu dalam shalat, Syeikh Ali Ahmad aj-Jurjani berkata bahwa ketika seorang hamba telah mampu melaksanakan shalat dengan khusyu berarti ia telah sampai pada tingkat keimanan yang sempurna. Sebagaimana disebutkan dalam kitab karangan beliau, bahwa “sesungguhnya khusyu dan menghadirkan hati dalam shalat, serta tenangnya anggota (melaksanakan sesuai syarat dan rukunnya) merupakan iman yang sempurna.” [25]
Karena itu orang yang melaksanakan shalat, tapi hatinya tidak khusu, maka seakan-akan ibadah yang dilakukan sia-sia, karena tidak diterima di sisi Allah.
Namun begitu, harus diakui bahwa khusyu ini merupakan perkara yang berat sekali. Apalagi bagi orang-orang yang masih awam. Sedikit sekali orang yang mampu khusyu dalam shalatnya. Kalau kenyataannya seperti itu, maka minimal yang bisa dilakukan adalah bagaimana khusyu itu bisa terwujud dalam shalat kita walaupun hanya sesaat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali:
”Maka tidak mungkin untuk mensyaratkan manusia agar menghadirkan hati (khusyu) dalam seluruh shalatnya. Karena sedikit sekali orang yang mampu melaksanakannya, dan tidak semua orang mampu mengerjakannya. Karena itu, maka yang dapat dilakukan adalah bagaimana dalam shalat itu bisa khusyu walaupun hanya sesaat saja.”[26]
Kesimpulannya adalah khusyu dalam shalat merupakan satu kondisi dimana seseorang melakukan shalat dengan tenang dan penuh konsentrasi, menghayati dan meresapi arti dan makna shalat yang sedang dikerjakan. Dan itu merupakan perkara yang sangat penting, agar ibadah yang dilaksanakan dapat dirasakan dalam kehidupan nyata, tidak semata-mata formalitas untuk menggugurkan kewajiban.
Daftar Pustaka
Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Hasbi Ash-Syidiqi, Pedoman Shalat, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Imam Basori Assuyuti, Bimbingan Shalat Lengkap, Jakarta: Mitra Umat, 1998
Ali bin Muhammad al-Jurjani, At-Ta’rifat, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1988
Ali Muhammad al-Bagdadi, Tafsir Khazin, Juz V., Beirut: Dar el-Fikr, 1979
Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmatut–Tasyri‘ wa Falsafatuhu, Juz. II, Beirut: Darul-Fikr, t.t.
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz II, Beirut: Dar el-Fikri: t.t
QIbn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar el-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000)., cet. III., h. 482
Muhammad Sholeh al-Munajjid, 33 Faktor yang Membuahkan Kekhusyukan dalam shalat, t.t.t: Islam House, 2009
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal
Muhammad al-Bani, Shahihul Jami’
Imam Ibn Jarir, Muqaddimah Tafsir at-Thabari Ibn Syakir, Beirut: Dar el-Fikr, t.t
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal Juz VI, Beirut: Dar el-Fikr, t.t
Yahya ibn Syarf an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Damaskus: Dar el-Khair, 1999
[1]Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)., h. 88
[2]Hasbi Ash-Syidiqi, Pedoman Shalat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976)., h. 59
[3]Imam Basori Assuyuti, Bimbingan Shalat Lengkap, (Jakarta: Mitra Umat, 1998)., 30
[4]Ali bin Muhammad al-Jurjani, At-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1988)., h. 98
[5] Ali Muhammad al-Bagdadi, Tafsir Khazin, Juz V., (Beirut: Dar el-Fikr, 1979)., h. 32
[6]Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmatut–Tasyri‘ wa Falsafatuhu, Juz. II, (Beirut: Darul-Fikr, t.t.)., h. 79
[7] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz II (Beirut: Dar el-Fikri: t.t)., h. 161
[8] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar el-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000)., cet. III., h. 482
[9] Muhammad Sholeh al-Munajjid, 33 Faktor yang Membuahkan Kekhusyukan dalam shalat, (t.t.t: Islam House, 2009)., h. 3
[10] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal Juz V no. 412, Lih. Juga Syaikh Muhammad al-Bani, Shahihul Jami’ no. 742
[11]Ibid., h. 229
[12] Imam Ibn Jarir, Muqaddimah Tafsir at-Thabari Ibn Syakir, (Beirut: Dar el-Fikr, t.t)., h. 1
[13] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal Juz VI, (Beirut: Dar el-Fikr, t.t)., h. 294
[14] Yahya ibn Syarf an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, (Damaskus: Dar el-Khair, 1999)., h. 201
[15] Abu Daud, Sunan Abu Daud, hadis no. 446
[16] Ibn Hajar al-Asqalani, op.cit., h. 574-579
[17]Ibid., h. 224
[18] Syaikh Muhammad al-Bani, op.cit., h. 89
[19] Ibn Hajar al-Asqalani, op.cit., h. 391
[20] Yahya ibn Syarf an-Nawawi, op.cit., h. 560
[21] Shahih Bukhari, Hadis No. 210
[22] Sunan Abu Daud, Hadis No. 694
[23] Sunan Ibn Majah, Hadis No. 617
[24] Musnad Imam Ahmad, Hadis No. 428
[25] Ali Ahmad al-Jurjani, op.cit., h. 79
[26] Abu Hamid al-Ghazali, op.cit., h. 161