PENGARUH PEMIKIRAN IBNU ABBAS 

DALAM PERKEMBANGAN TAFSIR ALQUR’AN

Ahmad Deski 

 

Abstract

This article presents about Al-Qur’an, the holly Book of Muslims. Al-Qur’an is a guide for human beings to run their lives in the world. Al-Qur’an has values or directions for regulating everything from small problems up to big deals. Mufassirs had paid their much attention and effort to explore glorius values within the Al-Qur’an. Ibnu Abbas was a popular and honorable mufassir during the periode of prophet’s era due to his broad knowledge and accurate analysis in interpreting the verses of Al-Qur’an. He, even, was called by many titles like;  bahr al ‘ilm (the ocean of knowledge), habr al ummah (ulama of human beings), turjuman al Qur’an(translator of Al-Qur’an), rais al mufassirun (the leader of mufassirs), and al bahr (Ocean).Next, Ibnu Abbas was also as a pioneer of interpretation theory which bore many interpretation models at the next periodes. His ideas were believed as the most accurate model among mufassir bil ma’tsur as well asmufassir bi al ra’yi. He, traditionally, even was trusted as a succesful great man who grew up an embrio of  Hermeneutika alQur’an.

 

Key Words : pemikiran, ibnu abbas, perkembangan tafsir al qur’an

 

Pendahuluan

Al-Qur’an merupakan pedoman yang diturunkan Allah kepada manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia.  Al-Quran tidak pernah kering dikaji oleh manusia untuk menemukan solusi setiap permasalahan yang dihadapinya. Sepanjang perjalanan sejarah al-Qur’an, berbagai kalangan telah menumpahkan segenap waktu, tenaga dan fikirannya untuk selalu dapat berinteraksi dengan al Qur’an yang mulia tersebut. Semakin intens perhatian yang diarahkan kepadanya, semakin besar daya tarik yang dia pancarkan dan daya tarik tersebut tidak pernah habis dan selalu tampak menarik bagaikan kilauan sudut permata yang begitu indah.

Thameem Ushama mengutip pendapat al-Suyuthi yang menyebutkan bahwa ada sekitar sepuluh orang sahabat terkemuka yang memiliki kredibilitas dalam bidang tafsir semasa Rasulullah Saw hidup dan sepeninggalnya beliau. Di antaranya adalah empat khulafa’ alrashidin(Abu Bakar al-Siddiq, ‘Umar bin al-Khattab, ‘Usman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Talib), kemudian Ibn ‘Abbas, Ibn Mas‘ud, Ubay bin Ka‘ab, Zaid bin Sabit, Abu Musa al-Ash‘ari dan ‘Abd Allah bin Zubair.[1]

Diantara mufassir yang terkenal dikalangan sahabat itu ada nama Ibnu Abbas yang merupakan mufassir yang paling disegani pada waktu itu karena ketajaman analisa dan pemahamannya terhadap ayat-ayat al Qur’an. Kemampuan yang dia miliki telah diakui oleh berbagai kalangan, terutama kalangan sahabat-sahabat Nabi yang cukup senior seperti Umar bin Khattab dan Ali binAbi Thalib.

Langkah-langkah Ibnu Abbas dalam penafsiran al Qur’an, kemudian menjadi salah satu model yang mengilhami ulama-ulama besar dalam bidang tafsir beberapa abad kemudian. Kota suci Mekkah menjadi awal perkembangan pemikiran Ibnu Abbas yang juga menghasilkan ulama-ulama besar seperti Said bin Jubair dan Mujahid bin Jabr.

 

Profil Ibnu Abbas

Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdi Manaf al Qursyi al Hasyimi.[2]Beliau adalah anak paman Rasul Abbas bin Abdul MuthallIb. Ibundanya adalah Lubabah al Kubra binti al Harits bin Hazan al Hilaliyah. Ibnu Abbas lahir di kota Mekkah 3 tahun sebelum Rasul Hijrah ke kota Madinah. Kelahiran beliau bertepatan dengan tahun pemboikotan Bani Hasyim oleh orang-orang Quraisy.

Ibnu Abbas selalu bersama Nabi di masa kecilnya karena beliau termasuk salah satu kerabat dekat nabi dan karena bibinya, Maimunah, adalah salah seorang istri Nabi. Menurut Riwayat Bukhari, Ibnu Abbas dididik langsung oleh Rasul dan Rasul meramalkan bahwa ia akan menjadi ahli Tafsir al Qur’an. Ketika Rasul meninggal dunia, Ibnu Abbas baru berusia 13 tahun, sehingga beliau banyak belajar kepada para sahabat senior apa yang belum diterimanya dari Rasul.[3]

Pada tahun 36 H. beliau ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menjadi Amirul Haj. Ia tidak berada dikota Madinah ketika Utsman terbunuh. Dalam pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Ibnu Abbas memihak kepada Ali.[4]

Di akhir usianya, Ibnu Abbas mengalami kebutaan, namun hal itu tidak membuat kendurnya semangat beliau untuk menggali nilai-nila yang terkandung di dalam al Qur’an serta terus bersikap kritis terhadap setiap perkembangan yang terjadi di tengah ummat pada masanya.  Ibnu Abbas wafat pada tahun 68 Hijrah dalam usia 70 tahun. Beliau wafat di kotaThaif dan dimakamkan di kota yang sama.[5]

Ibnu Abbas diberi gelar al Bahryang berarti Samudra.[6] Hal itu disebabkan karena kedalaman dan keluasan ilmu yang ia miliki. Kepakaran tersebut disebabkan kehidupan ilmiah yang selalu menghiasi hari-hari beliau, di mana belajar dan mengajar adalah kesibukan-kesibukan yang tidak pernah beliau tinggalkan. Beliau mengajarkan berbagai macam ilmu kepada muruid-muridnya. Kadang-kadang beliau mengajarkan Fiqh, atau Ta’wil atau sejarah. Ubaidillah bin Abdullah pernah mengatakan: “ Tidaklah aku menyaksikan orang alim yang duduk bersama Ibnu Abbas kecuali ia merendahkan diri terhadap Ibnu Abbas. Dan tidaklah aku melihat orang yang bertanya kepada Ibnu Abbas kecuali ia akan mendapatkan ilmu dari jawaban Ibnu Abbas.[7]Hal itupun semakin ditopang oleh ketidakterlibatan beliau dalam percaturan politik dan pemerintahan,[8]kecuali hanya dalam waktu yang sangat sedikit, yaitu ketika beliau ditugaskan oleh Ali bin Abi Thalib sebagai Amir di kota Basrah.[9]

Dengan kedalaman ilmu tersebut berbagai macam pujianpun diarahkan kepada beliau, seperti yang disampaikan oleh Ibnu Umar, yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas adalah ummat Muhammad yang paling tahu tentang apa yang diturunkan kepada Muhammad. Thawus, salah seorang Tabi’in pernah ditanya oleh al Laits bin Sulaiman : “Mengapa engkau tinggalkan sahabat-sahabat senior dan berguru kepada anak kecil ini (Ibnu Abbas). Thawus menjawab, “Aku melihat 70 orang sahabat Rasul berselisih tentang suatu urusan, akan tetapi semuanya kembali kepada pendapat Ibnu Abbas.”[10]

Luasnya ilmu yang dimiliki oleh Ibnu Abbas, tidaklah terjadi begitu saja. Akan tetapi kepakaran tersebut disebabkan oleh beberapa hal yang amat penting yang menghiasi perjalanan hidup beliau [11]:

  1. Do’a Rasulullah untuk Ibnu Abbas. Doa Rasulullah ini menjadi bukti yang paling kuat tentang kemampuan Ibnu Abbas dalam menafsirkan dan memahami kitab suci al Qur’an. Menurut pengakuan Ibnu Abbas Sendiri, Rasul pernah dua kali mendoakan beliau. Do’a tersebut adalah Allahum ‘allimhu al hikmah ( اللهم علمه الحكمة)dan allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al Ta’wil. ( اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل). Menurut ajaran Islam, do’a yang dipanjatkan oleh Rasul adalah do’a yang mustajab dan seluruh kehendak Rasul di dalam do’a tersebut dikabulkan oleh Allah.
  2. Ibnu Abbas besar dalam lingkungan rumah tangga kenabian, di mana beliau selalu hadir bersama Rasulullah sejak kecil. Beliau selalu mendengar banyak hal dari Rasul, dan menyaksikan kejadian serta berbagai peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al Qur’an. Bahkan beliau pernah dua kali menyaksikan Malaikat Jibril bersama dengan Nabi.
  3. 3.      Interaksi beliau dengan para sahabat senior sesudah wafatnya Rasulullah. Dari sahabat-sahabat senior tersebut, Ibnu Abbas belajar berbagai hal yang berkaitan dengan al Qur’an seperti tempat-tempat turunnya al Qur’an, sebab-sebab turunnya ayat dan lain sebagainya. Upaya untuk belajar dan bertanya tersebut diungkapkan oleh Ibnu Abbas sendiri : “Aku banyak mendapatkan hadits Rasuldari kalangan Anshar. Bila aku ingin mendatangi salah satu di antara mereka, maka aku akan mendatanginya. Boleh jadi aku akan menunggunya hingga ia bangun tidur kemudian aiu bertanya tentang hadist tersebut kemudian pergi.
  4. Pengetahuan beliau yang sangat luas tentang bahasa Arab terutama kaitannya dengan uslub-uslubnya dan puisi-puisi Arab kuno yang amat berguna untuk mendukung pemahaman beliau terhadap al Qur’an.
  5. Kecerdasan otak yang merupakan anugerah Allah yang membuat Ibnu Abbas mampu untuk berijtihad dan berani menerangkan berbagai hal yang beliau anggap benar dalam penafsiran al Qur’an.

Dengan pengetahuan yang amat luas tersebut, maka Ibnu Abbas selalu menjadi rujukan para sahabat baik senior maupun yunior untuk meminta keterangan dan penjelasan tentang maksud suatu ayat. Seperti kasus ketika Umar bin al Khattab bertanya maksudsurat al Baqarahayat 266 :

–Šuqtƒr&öNà2߉tnr&br&šcqä3s?¼çms9×p¨Yy_`ÏiB9@ŠÏ‚¯R5>$oYôãr&ur“̍ôfs?`ÏB$ygÏFóss?㍻yg÷RF{$#.

 Maka tidak seorangpun dari sahabat yang mampu memberikan penjelasan yang memadai tentang ayat yang dimaksud. Pada akhirnya Ibnu Abbas berkata : Wahai Amirul Mu’minin. Aku mendapatkan suatu pemahaman pada diriku tentang ayat yang dimaksud. Ayat tersebut berisi perumpamaan yang dikemukakan Allah sehingga seolah-oleh Allahberkata : Apakah salah seorang di antara kalian menyukai pekerjaan orang-orang yang baik sepanjang hidupnya namun ketika akan wafat ia tutup agenda hidupnya yang baik tersebut dengan mengerjakan pekerjaan orang-orang yang sengsara. Sehingga pekerjaan tersebut merusak seluruh amal kebajikannya.[12]

Ketenaran Ibnu Abbas dibidang tafsir dan bahkan keilmuannya secara umum menjadikannya banyak dikenal dengan beberapa gelar, antara lain: bahr al ‘ilm (lautan ilmu), habr al ummah (ulama ummat), turjuman al Qur’an (juru Tafsir al Qur’an), rais al mufassirun (pemimpin para mufassir), al bahr (lautan)[13] danjuga habr al Qur’an (ulama al Qur’an).[14]

 

Pemikiran Tafsir Ibnu Abbas

Ibnu abbas merupakan peletak dasar dari teori penafsiran yang banyak mengilhami model-model penafsiran era berikutnya. Pemikirannya diyakini sebagai salah satu model penafsiran yang paling akurat baik bagi kalangan mufassir bil ma’tsur maupun kalangan mufassir bi al ra’yi. Bahkan secara tradisional beliau dipercaya sebagai salah seorang tokoh yang telah berhasil menanamkan embrio Hermeneutika al Qur’an.[15]

Bagi kelompok bi al ma’tsur (penafsiran memalui tradisi) Ibnu Abbas telah memberikan panduan penafsiran al Qur’an terbaik, dengan membiarkan al Qur’an saling menjelaskan keterkaitan yang saling berhubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Sebab penafsiran al Qur’an dengan al Qur’an sendirilah yang memiliki validitas kebenarannya yang paling kuat. Bila tidak ditemukan penjelasan tersebut dari al Qur’an, maka beliau merujuk kepada hadits Nabi yang sahih. Kedudukan hadits yang merupakan penjelas bagi al Qur’an juga diyakini sebagai salah satu alternatif untuk menyingkap makna-makna yang cukup sulit untuk dipahami. Kedua cara yang ditempuh oleh Ibnu Abbas tersebut pada akhirnya menjadi standar baku bagi kelompok penafsir al Qur’an bi al ma’tsur untuk masa selanjutnya.

Kelompok mufassir bi al Ra’yi (Penafsiran melalui nalar) juga memperoleh inspirasi penafsiran dari metode yang telah digagas oleh Ibnu Abbas. Bagi Ibnu Abbas, bila keterangan sebuah makna ayat tidak ia temukan di dalam al Qur’an atau dari hadits Nabi, maka beliau berupaya untuk merujuknya kepada sair-sair Arab kuno ataupun percakapan-percakapan Arab Badui yang memiliki tingkat kemurnian bahasa yang tinggi.

“Keluarnya” Ibnu Abbas dari lingkaran al Qur’an dan Hadits Nabi tersebut ketika menafsirkan al Qur’an adalah sebuah keberanian dan merupakan ijtihad dalam bentuk lain. Dan tentunya keberanian untuk melakukan ijtihad bukanlah keberanian yang bersifat apriori, namun dilandasai oleh niat dan keinginan yang kuat untuk menyingkap makna-makna terdalam dari al Qur’an. Seperti yang diceritakan sendiri oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau tidak pernah tahu arti dari kata fathiru al samawaat ( فاطر السموات), sampai suatu ketika beliau mendengar dua orang Arab Badui tengah bertikai masalah sebuah sumur. Salah seorang dari Arab Baduimengatakan :ana Fathortuha ( أنا فطرتها) (aku yang membuatnya). Dengan adanya percakapan tersebut, barulah beliau mengetahui maksud dari kata :فطر. Bahkan beliau tidak segan-segan untuk mencari sumber penafsiran dari kalanganahli kitab yang telah memeluk agama Islam, baik dari kalangan Yahudi seperti Abdullah bin Salam maupun dari kalangan Nasrani seperti Ibnu Juraij. Namun sebagaimana yang dikatakan oleh az Zahabi, bahwa eksplanasi tersebut hanya berkaitan dengan pambahasan yang sangat terbatas dan adanya kecocokan sejarah antara al Qur’an dan kitab-kitab samawi lainnya. Akan tetapi jika berseberangan dengan keterangan al Qur’an atau bahkan bertentangan dengan syari’at Islam, menurut Az Zahabi, Ibnu Abbas tidak mempergunakan penafsiran ahli kitab.

Keberanian Ibnu Abbas untuk mencari sumber-sumber penafsiran dari selain al Qur’an dan hadits Nabi menjadi inspirasi penting bagi kalangan ahlu al ra’yi untuk juga memaksimalkan penggunaan akal fikiran sebagai salah satu alternatif penafsiran al Qur’an Secara eksplisit terungkap, Ibnu Abbas memiliki kecenderungan untuk menggunakan akal fikiran yang jernih dalam menafsirkan ayat al Qur’an. Tidak melulu beliau menggunakan standar baku penafsiran ayat dengan ayat lainnya, atau ayat dengan hadits Nabi. Beliau berani berijtihad, dan diakui oleh kalangan sahabat.

Contoh keberanian lain tersebut adalah ketika Ibnu Umar meminta Ibnu Abbas untuk menafsirkan surat al Anbiya’ ayat 30 (أَوَلَمْيَرَالَّذِينَكَفَرُواأَنَّالسَّمَاوَاتِوَالْأَرْضَكَانَتَارَتْقاًفَفَتَقْنَاهُمَا) Dalam penafsirannya Ibnu Abbas tidak merujuk kepada al Qur’an maupun hadits Nabi, akan tetapi merujuk kepada pemikirannya sendiri. Beliau mengatakan bahwa langit dulu bersatu dengan bumi. Yang dimaksud bersatu di sini langit tidak menurunkan hujan dan bumi tidak menumbuhkan tanaman. Maka Allah memisahkan keduanya dengan menurunkan hujan dari langit dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan di Bumi. Ibnu Umarmenanggapi penafsiran tersebut dengan mengatakan : “Aku begitu kagum dengan penafsiran Ibnu Abbas. Dan sekarang aku tahu bahwa ia telah mendapatkan anugerah ilmu.[16]

Dengan demikian bibit-bibit penafsiran dengan menggunakan nalar telah dibangun oleh Ibnu Abbas semenjak generasi kedua Ummat Islam. Meskipun Ibnu Abbas telah memulai upaya penafsiran menggunakan rasio, namun pemikirannya-pemikiran tafsirnya belum dibukukan dalam bentuk kitab tafsir yang sistematis. Untuk mengetahui bentuk pemikiran beliau, masih harus menggunakan sistem periwayatan. Hal itu disebabkan oleh belum berkembangnya sistem tulis menulis dengan baik pada saat itu. Untuk mengetahui pemikiran tafsir ibnu Abbas, para ulama telah menetapkan jalur periwayatan yang akurat dan memiliki tingkat kebenaran maksimal. Imam As Suyuthi mengatakan “Pemikiran-pemikiran” Ibnu Abbas dalam bidang tafsir memiliki jalur periwayatan yang sangat banyak. Dan riwayat yang paling baik adalah melalui jalur Ali bin Abi Thalhah al Hasyimi dari Ibnu Abbas. Bahkan jalur periwayatan ini telah diakui oleh Imam Bukhari di dalam kitab Sahihnya apabila meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas.[17]

Namun meskipun begitu, masih ada sebagian kelompok yang meragukan periwayatan langsung Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas. Kelompok ini beranggapan bahwa Ali Bin Abi Thalhah tidaklah mendengar langsung dari Ibnu Abbas, akan tetapi meriwayatkan pemikiran Ibnu Abbas melalui perantaraanMujahid atau Said bin Jabir.

Selain jalur Ali bin Abi Thalhah, juga terdapat jalur lain yang juga dianggap sebagai jalur yang baik untuk mengetahui pemikiran Ibnu Abbas. Jalur tersebut adalah jalur periwayatan Qais bin Atha’ bin Saib dari Said bin Jabir dari Ibnu Abbas. Jalur periwayatan ini menurut Bukhori dan Muslim adalah jalur yang sahih. Juga terdapat jalur periwayatan dari Ibnu Ishaq dari Muhammad bin Abi Muhammad dari Ikrimah atau dari said bin Jabir dari Ibnu Abbas.[18] Namun jalur ini menurut Ibnu Jarir al Thabari danAbi Hatim adalah jalur periwayatan yang hasan, dan mereka juga menggunakan jalur ini dalam meriwayatkan penafssiran-penafsiran dari Ibnu Abbas.

Keberadaan Ibnu Abbas di Kota Mekkah telah menciptakan sebuah konstelasi pemikiran Tafsir yang brilian. Murid-murid beliau dianggap sebagai pemuka-pemuka tafsir yang mencerahkan. Ibnu Taimiyah, seperti yang diungkapkan As Suyuthi, mengatakan bahwa orang yang paling tahu tentang tafsir adalah kelompok Mekkah, karena di kota ini bermukim Ibnu Abbas.[19]Murid-murid Ibnu Abbas yang terkemuka dalam bidang Tafsir adalah Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah, Said bin Jabir danThawus.

Meskipun pemikiran Ibnu Abbas yang berkaitan dengan Tafsir lebih banyak dipahami melalui jalur periwayatan, akan tetapi para ulama mencoba untuk memadukan berbagai pemikiran Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an. Sebuah karya yang berada di tangan penulis saat ini menunjukkan hal tersebut. Berbagai riwayat telah dikumpulkan sehingga menjadi sebuah kitab yang menghimpun pemikiran Ibnu Abbas dalam memahami al Qur’an, mulai dari suratal Fatihah sampai dengan surat al Naas.Kumpulan penafsiran tersebut diberi judul ( تنوير المقباس من تفسير ابن عباس) Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas. Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan penafsiran al Qur’an ini dikumpulkan oleh Abi Thahir Muhammad bin Ya’qub al Fairuzzabady al Syafi’i.[20]

Menurut az Zahabi, segala sesuatu yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam tafsir ini hanya melalui jalur periwayatan Muhammad bin Marwan as Suday al Shaghir dari Muhammad bin Saib al Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas. Secara pribadi, az-Zahaby meragukan seluruh riwayat tersebut yang ada dalam tafsir tersebut dinisbahkan kepada Ibnu Abbas, sebagaimana keraguan yang juga dialami oleh Imam Syafi’i. menurut as Syafi’I, riwayat-riwayat yang berkaitan dengan Ibnu Abbas dalam masalah tafsir hanya berjumlah ratusan. Artinya bila riwayat tersebut meliputi seluruh ayat al Qur’an yang berjumlah ribuan, maka ada sebagian yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.[21]

 

Tafsir Ibnu Abbas

Az Zahabi mengungkapkan sebuah kitab Tafsir yang dinisbahkan kepaba Ibnu Abbas yang diberi nama Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas. Tafsir ini diterbitkan di Mesirdan cetakan lainnya berasal dari Beirut. Dari cetakan aslinya, kitab ini tidak memiliki kata pengantar, sehingga tidak dapat diselami lebih jauh lagi tentang keberadaan penulis kitab tersebut. Namun al Fairuzzabady sendiri bukanlah orang yang tidak dikenal. Beliau adalah pengarang kamus al Muhithyang terkenal dan ahli dalam bidang bahasa. Pola penafsiran yang ditampilkan dalam tafsir ini memiliki kesamaan dengan penafsiran yang dilakukan oleh Imam Jalaluddin Assuyuthi dalam Tafsir al Jalalain. Dalam kitab tersebut, Mufassir berupaya untuk menafsirkan dan menjelaskan kalimat per kalimat, sehingga makna setiap kalimat dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Hal ini dilakukan penulis mulai dari surat al Fatihah hingga surat al Baqarah.

Dilihat dari judul kitab tersebut, maka pembaca digiring kepada sebuah kesimpulan, bahwa penafsiran yang dilakukan di dalam kitab ini semuanya mengacu kepada penafsiran Ibnu Abbas. Akan tetapi penulis hanya menemukan dua jalur periwayatan yang diungkapkan pengarang yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas.

Sedangkan untuk surat-surat yang lain, pengarang hanya menyebutkan kalimat ( وبإسناده عن ابن عباس) Wabi isnadihi an ibni Abbas. Artinya sanad yang diambil sama dengan sanad yang ada dalam surat al Fatihan atau surat al Baqarah. Surat yang disebutkan sanadnya secara lengkap adalah : Pertama, ketika pengarang kitab menafsirkan surat al Fatihah. Dalam menafsirkan surat tersebut, al Fairuzzabadi menyebutkan riwayat dengan lengkap, yaitu dari jalur Abdullah as tsiqah bin al Ma’mun al Harwi dari ayahnya, dari Abu Abdullah dari Abu Ubaidillah Mahmud bin Muhammad al Razi dariAmmar bin Abdul Majid al Harwi dari Ishaq as Samarqandi, bin Marwan dari al Kalbidari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas.[22]Sedangkan dalam menafsirkan surat al Baqarah, penulis menyebutkan jalur periwayatan dari Abdullah bin al Mubarak dari Ali bin Ishaq as Samarqandi dari Muhammad bin Marwan dari al Kalbi dari Abu Sholeh dari Ibnu Abbas. Selanjutnya penulis tidak lagi menemukan jalur periwayatan lainnya dalam menafsirkan surat-surat berikutnya. Oleh sebab itu, apabila berpatokan kepada pendapat az Zahabi dan Imam SyafiiI di atas, maka semua penafsiran tersebut bukanlah murni pemikiran Ibnu Abbas secara utuh. Apalagi pengarang tidak mencantumkan berbagai jalur periwayatan yang merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk menggali dan mengumpulkan berbagai periwayatan tafsir dari Ibnu Abbas.

Dengan demikian meskipun pengarang tafsir ini menggiring pembaca ke arah penafsiran Ibnu Abbas, akan tetapi dengan tidak menampilkan berbagai bentuk periwayatan dengan jelas, maka akan menimbulkan pertanyaan, apakah semuanya adalah penafsiran Ibnu Abbas, atau penafsiran pengarang sendiri dengan mengusung nama Ibnu Abbas dalam karangannya.

 

Kesimpulan

Abdullah bin Abbas adalah sosok sahabat Rasul yang berani melakukan ijtihaddalam bidang tafsir. Selain menerangkan makna ayat-ayat al Qur’an melalui al Qur’an sendiri atau melalui hadits Nabi, Ibnu Abbas juga berupaya untuk menggali makna al Qur’an dari syair-syair Arab kuno dan ahli kitab. Ijtihad model ini sedikit banyak akan memberikan inspirasi kepada kelompok mufassir bi al Ra’yi untuk mengembangkan penafsiran al Qur’an di kemudian hari. Dengan demikian, pemikirannya membuka dan mengilhami berkembangnya dua macam kelompok penafsiran, yaitu penafsiran dengan tradisi (bil ma’tsur) dan penafsiran menggunakan nalar (bil ra’yi).

Berbagai buku yang berkaitan dengan Tafsir Ibnu Abbas tidaklah mewakili pemikiran tafsir Ibnu Abbas. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya riwayat Ibnu Abbas yang sampai kepada kita, dan jumlah riwayat tersebut hanya berada pada kisaran ratusan saja.

 

Daftar Pustaka

Al Fairuzzabadi, Abu Thahir Bin Ya’qub, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibni Abbas, (Beirut: Darul Fikr, 2001)

Al Jazari, Muhammad, Asdul Ghabah fi Ma’rifat al Sahabah, (Kairo: Darul Kutub al Ilmiyyah, t.thn)

Al Najjar, ‘Abd al Halim,Mazahib Al Tafsir Al Islamilil Al ‘Alamal Mustashriq Ignas Golziher, (Mesir: Maktabah al Khanji, 1995)

Al Qattan, Manna’, Mabahis Fiy Ulum Al Qur’an, (Beirut : Muassasah Al Risalah, 1994)

Az Zahabi, Muhammad Husain, al Tafsir wal mufassirun, (Maktabah Wahbah, Kairo, 2003)

Al- Zarqani, Muhammad Abdul Azim, Manahilul Irfan Fi ulumil Qur’an, (Beirut: Daru Ihyai al Turats al Araby, t.thn)

Efendi, Mochtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Universitas Sriwijaya, Palembang, 2000)

Hitami, Munzin, Menangkap Pesan-Pesan Allah, (Pekanbaru: Suska Press 2006)

Ushama,Thameem, Methodologies of the Qur’anic Exegesis, (Kuala Lumpur: A.S. Noordien,1995)

 



[1]Thameem Ushama, Methodologies of the Qur’anic Exegesis, (Kuala Lumpur: A.S. Noordien,1995), h. 13-14

[2]Muhammad Husain az Zahabi, al Tafsir wal mufassirun, (Maktabah Wahbah, Kairo, 2003), Jld. 1, hlm. 50

[3]ibid

[4]Mochtar Efendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat,(Universitas Sriwijaya, Palembang, 2000), Jld. I, hlm. 14

[5] Muhammad Husain az Zahabi, op.cit

[6]Muhammad al Jazari,Asdul Ghabah fi Ma’rifat al Sahabah, (Kairo: Darul Kutub al Ilmiyyah, t.thn) Jld. IIIhlm. 292

[7]ibid

[8]Muhammad Abdul Azim al Zarqani, Manahilul Irfan Fi ulumil Qur’an, (Beirut: Daru Ihyai al Turats al Araby, t.thn) hlm. 344

[9]Muhammad Husain az-Zahabi, Op. Cit, hlm. 52

[10]Muhammad al Jazari, Op. Cit

[11] Muhammad Husain az-Zahabi, Op. Cit

[12]Ibid, h. 154

[13]Manna’ al Qattan, Mabahis Fiy Ulum Al Qur’an, (Beirut : Muassasah Al Risalah, 1994)  h. 382

[14]Lihat catatan kaki ‘Abd al Halim al Najjar dalam mentahqiq Mazahib Al Tafsir Al Islamilil Al ‘Alamal Mustashriq Ignas Golziher, (Mesir: Maktabah al Khanji, 1995)  h. 83

[15]Munzin Hitami, Menangkap Pesan-Pesan Allah, (Pekanbaru: Suska Press2006), hlm. 34

[16]Muhammad az Zarqani, Op. Cit., hlm. 343

[17]Ibid.,hlm. 344

[18]Ibid

[19]Ibid,hlm. 345

[20]Muhammad Husain az Zahabi,Loc. Cit, hlm. 62

[21]Ibid.

[22]Abu Thahir Bin Ya’qub al Fairuzzabadi, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibni Abbas, (Beirut: Darul Fikr, 2001),   hlm. 1